Lima Tahun Pascabencana, Penyintas Lere Masih Berharap Huntap

3 min read

PALU – Tinggal di rumah layak, masih menjadi harapan para penyintas di Kelurahan Lere. Hampir genap lima tahun lamanya, mereka harus tinggal di bangunan seadanya. Berteman panas di siang hari dan dingin ketika malam, sudah terbiasa dirasakan.

Rumah rumah berdinding tripleks, berjejer rapi. Sepintas bukan tampak seperti perumahan, tapi lebih tepat jika disebut perkemahan. Pasalnya, rumah-rumah yang dibangun ini lebih menyerupai tenda dibanding rumah. Tingginya pun tak sampai 2 meter. Mereka yang masuk harus sedikit menunduk. Dari sekitar 20an rumah yang disebut hunian sementara ini, salah satunya milik Mohamad Fikran (48). Dia sudah kurang lebih dua tahun tinggal kembali di Jalan Cumi-cumi, Kelurahan Lere. Sebelumnya pascabencana 28 September 2018 silam, dia dan kedua anaknya tinggal di lokasi Huntara Jalan Diponegoro.

“Tapi karena orangnya sudah mau pakai lahannya, jadi kami yang di sana pindah semua ke sini. Sudah mau dua kali lebaran kami di sini. Tambah lagi tiga tahun tinggal di Huntara Ponegoro, jadi sudah mau lima tahun,” ungkap pria yang sehari-harinya berprofesi sebagai pedagang kelapa muda ini.

Material bangunan yang dipakainya membangun, adalah sisa dari Huntara di Jalan Ponegoro. Luas bangunannya hanya sekitar 3 x 4 meter saja. Fikran dan warga lainnya, terpaksa kembali membangun di lokasi yang dahulu rata dengan tsunami dan kini masuk zona merah. Hunian tetap, yang dijanjikan pemerintah hingga kini belum juga terealisasi. “Kalau saya ini dulu jualan di cafe-cafe taman ria. Tinggal juga di situ. Nama saya sudah masuk SK, katanya mau dapat di Huntap Talise, tapi sampai sekarang belum ada. Yah ditunggu saja,” ujarnya membesarkan hati.

Tidur di bangunan seadanya hampir lima tahun, sudah bukan lagi jadi keluhan Fikran anaknya. Duda anak dua ini, mengaku, ingin segera mungkin mendapatkan rumah yang layak huni. Agar anak-anaknya bisa fokus belajar ketika berada di bangunan yang nyaman.

“Alhamdulillah anak saya dua-duanya sudah perguruan tinggi. Tapi kalau belajar di rumah begini, lebih banyak tidak fokusnya pak. Sempit, karena harus berbagi ruangan. Biasanya saya yang mengalah duduk di luar dulu kalau mereka mau belajar,” terang Fikran.

Meski begitu, Fikran menaruh harap, agar hunian tetap yang dijanjikan pemerintah bisa segera ditempatinya. Namun, hingga kembali ke Jalan Cumi-cumi, warga asli Ampana ini, mengaku belum mendapatkan informasi jelas kapan pastinya mereka akan dipindah ke Huntap. “Tidak tahu juga pak, kita masih tunggu-tunggu. Kalau memang belum rejeki mau diapa. Tapi jangan sampai yang tidak berhak malah dapat,” katanya.

Nasib yang sama juga dirasakan Basri Bado (43). Nelayan di Kelurahan Lere itu, belum tahu kapan Huntap miliknya selesai. Meski dirinya sudah mengetahui bahwa bagi mereka yang berprofesi sebagai nelayan, bakal mendapatkan Huntap Satelit yang tidak jauh dari rumahnya saat ini.

“Saya dapat Huntap di bekas Rusunawa lalu. Tidak jauh dari sini. Cuma kami belum tahu kapan Huntapnya itu selesai dibangun,” paparnya. Rumah yang ditinggalinya saat ini, menurut Basri, juga terkena pembebasan lahan untuk pembangunan jembatan Palu IV (empat). Sehingga tidak mungkin dirinya membuat rumah permanen lagi di lokasi tersebut.

“Kalau pagi sampai siang saya kebetulan melaut. Tapi istri dan anak-anak yang kasihan, sudah kepanasan makan abu lagi karena ada proyek pembangunan jembatan. Secepatnya lah kita bisa dipindahkan ke Huntap,” pintanya.
Fadlun (34) warga lain, yang masih berdiam di Huntara mandiri, mengaku tidak akan angkat kaki dari bangunannya saat ini, sebelum ada Huntap. Dia juga sudah rela meninggalkan kampung halamannya, jika memang Huntap yang diberikan berada jauh dari Kelurahan Lere.

“Saya ini kasihan pak, janda anak tiga. Kalau begini nasib kita tidak jelas, mau tinggal di sini katanya zona merah, sementara Huntap kami yang katanya di atas sana (Valangguni) belum juga jadi. Padahal ini sudah mau lima tahun. Kenapa lama sekali?,” kata Fadlun. Juga disuruh memilih, sebenarnya Fadlun menginginkan juga dapat Huntap di Kelurahan Lere. Namun karena yang didengarnya, hanya mereka yang berprofesi sebagai nelayan saja yang dapat Huntap Satelit, maka dia mengaku menerima.

“Meski pun nanti berararti anak-anak saya yang masih SD ini harus saya pindahkan sekolah, mau bagaimana lagi. Yang penting kasih cepat saja pembangunannya, agar kami bisa tinggal di rumah yang betul-betul layak,” tandasnya. Guna mengetahui berapa pastinya warga yang belum mendapatkan Huntap, media ini coba melakukan konfirmasi kepada Lurah Lere. Namun sayangnya, Lurah Lere, Muhmammad Fahmi, mengaku tidak mengetahui pasti berapa yang belum mendapatkan Huntap.

“Kebetulan saya ini lurah baru diangkat tahun lalu, jadi saya tidak pegang data pastinya,” jelasnya.
Namun dia mengaku hanya mengetahui ada pembangunan Huntap Satelit di wilayahnya, yang dahulu bekas lokasi Rusunawa Lere. Sepengetahuannya, ada sekitar kurang lebih 39 rumah untuk 39 kepala keluarga yang dibangun. Terkait progress pembangunan, Fahmi juga belum mengetahui pasti. Yang jelas kata dia, sebanyak 39 bangunan tersebut sudah berdiri. “Mungkin tinggal finishing saja. Huntapnya dibangun awal tahun 2023,” demikian Lurah.

Pantauan di lokasi pembangunan, memang terlihat adanya pembangunan. Namun hampir seluruhnya belum rampung. Pihak pelaksana proyek pembangunan Huntap Satelit juga enggan memberikan keterangan progres pembangunan. Mereka hanya mengarahkan wartawan untuk menanyakan hal itu ke Satuan Kerja (Satker) Perumahan yang ada di Jalan Dewi Sartika. Di Satker tersebut, wartawan kembali diarahkan untuk wawancara ke Balai Pelaksana Penyediaan Perumahan Sulawesi II, yang berada di Jalan Surumana.

Di kantor tersebut, oleh Security atas nama Bambang, menyampaikan bahwa Kepala Balai Penyediaan Perumahan Sulawesi II tidak berada di tempat dan tidak ada pejabat yang bewenang bisa memberikan komentar sekaitan pembangunan Huntap Satelit di Kelurahan Lere. (agung syumandjaya)

LIMA TAHUN BENCANA SULTENG
Lima jurnalis Palu melalui beasiswa dari AJI Palu, melakukan liputan yang mengungkap kisah para penyintas di pengungsian. Merekam suasana batin pengungsi yang hidup dengan fasilitas seadanya di barak pengungsi. Melaporkan mimpi warga penyintas yang mendambakan hidup tentram di hunian layak yang dijanjikan negara. Lima tahun berlalu, penantian itu tak kunjung ada. Agung Syumandjaya (Radar Sulteng, Erna Dwi Lidiawati (Kompas.com), Sobirin (Madika.id) dan Wahono (Radar Sulteng) serta Aldrim Thalara dari Kompas TV, merekam dengan apik situasi terakhir kondisi penyintas di bilik-bilik tidak layak dan menyajikannya untuk pembaca sekalian.


Proses Oknum TNI Diduga Ancam Jurnalis, Dandim 1306 Kota…

Jurnalis di Kota Palu kembali menjadi korban intimidasi dan pengancaman. Kali ini dialami Halima Charoline atau yang akrab disapa Irma. Jurnalis perempuan yang bekerja...
Aji Palu
3 min read

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *