PALU – Siang itu dua bocah tengah asyik bermain layangan. Namanya Al yang duduk di bangku sekolah dasar (SD) kelas 5, dan Adit yang baru duduk di kelas 4 SD. “Olor, olor memang cepat,” teriak Adit kepada Al, agar layangannya tak nyangkut ke pohon. Namun terlambat, layangan Al tersangkut di pohon. Beberapa bocah lain mencoba melepaskan layangan dengan memanjat pohon di mana layangan Al tersangkut.
Namun tak berhasil. Tali layangan pun akhirnya diputuskan agar Al dan Adit beserta para bocah lainnya melanjutkan bermain layangan. Al dan Adit merupakan bocah penyintas bencana yang tinggal di huntara Petobo di Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Lima tahun tinggal di huntara, tak membuat mereka bosan. “Banyak temanku di sini,” kata Adit. Warga penyintas lainnya ada Estin (32). Saat KOMPAS.com berkunjung ke bilik huntaranya, Senin (25/9/2023), Estin sedang ngobrol bersama sepupunya. Kami ngobrol banyak hal. Tentang hunian tetap dan bagaimana likuifaksi terjadi. “Sempat dibawa lumpur saya waktu itu,” ujarnya.
Estin merupakan warga asli Petobo. Saat gempa bumi bermagnitudo 7,4, tanah yang dipijaknya tiba-tiba bergerak. Tanah kehilangan kekuatannya dan langsung menjadi lumpur dan bergerak seperti air. Semua bangunan, atau apa pun yang ada di atasnya langsung digulung seperti ombak di laut. Termasuk Estin dan ribuan korban lainnya. Tidak ada yang tahu apa yang sesungguhnya terjadi. “Saat mau ancang-ancang lari dan tunggu suami dan anak. Tiba-tiba seluruh badan saya tertutup lumpur.
Di dalam lumpur itu saya seperti digiling kayak blender,” kata Estin. “Tidak tahu lagi berapa lama saya terbawa dalam lumpur. Tahu-tahu lumpur itu berhenti bergerak,” kisahnya. Di sisa tenaga yang dimiliki, Estin sempat berteriak lirih minta tolong. Ia melihat ada cahaya dan orang yang berteriak. Suara Estin minta tolong didengar oleh orang yang bawa senter.
“Orang itu yang selamatkan saya, dia tarik saya dari lumpur dan dibawa ke Masjid Petobo. Sampai sekarang saya tidak tahu orang yang selamatkan saya itu,” kenangnya. Estin sempat menjalani operasi hingga 3 kali di Makassar, Sulawesi Selatan karena mengalami patah kaki. Saat itu Estin didampingi tim relawan Sedekah Rombongan.
Tak ada yang tahu dan menyadari bahwa tanah yang keras tiba-tiba menjadi lumpur adalah fenomena likuifaksi usai diguncang gempa bermagnitudo 7,4. Selain di Kelurahan Petobo, fenomena likuifaksi juga terjadi di beberapa titik di Kota Palu dan Kabupaten Sigi. Lima tahun berlalu, luka di seluruh tubuh Estin sudah sembuh. Dan pen yang ada di kaki Estin yang mengalami patah sudah dilepas. “Alhamdulillah, masih dikasih hidup sama Allah,” ujarnya tersenyum.
Saat ini Estin dan para penyintas lain masih bertahan di huntara. Nama mereka telah terdata di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sebagai penerima hunian tetap (Huntap). Data BPBD 1.330 KK masih tinggal di huntara Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Daerah (BPBD) Sulawesi Tengah masih ada sekitar 1.330 kepala keluarga (KK) yang saat ini tinggal di huntara dan belum dapat huntap. “Jumlah ini tersebar di tiga wilayah terdampak yakni Palu, Sigi dan Donggala,” kata Kepala Bidang Rehabilitasi Rekontruksi BPBD Sulteng, Budi Yunus, Senin (25/9/2023). “Sumber data kami peroleh dari Konsultan Pendamping Pelaksana Pembangunan Huntap di Balai penyedia perumahan. Sebanyak 1.330 KK masih tinggal di huntara itu terdiri dari 311 wanita dan 1.019 lelaki,” jelasnya.
Data BPBD Sulteng, terkait korban bencana baik yang tewas, hilang dan yang masih hidup tercatat sebanyak 2.256 orang meninggal dunia. Sebarannya di Kota Palu sebanyak 1.703 orang meninggal dunia, Donggala 171 orang, Sigi 366 orang, Parigi Moutong 15 orang dan Pasangkayu 1 orang. Sebanyak 1.309 orang hilang, 4.612 orang luka-luka dan 223.751 orang mengungsi di 122 titik. (Erna Dwi Lidiawati)
LIMA TAHUN BENCANA SULTENG
Lima jurnalis Palu melalui beasiswa dari AJI Palu, melakukan liputan yang mengungkap kisah para penyintas di pengungsian. Merekam suasana batin pengungsi yang hidup dengan fasilitas seadanya di barak pengungsi. Melaporkan mimpi warga penyintas yang mendambakan hidup tentram di hunian layak yang dijanjikan negara. Lima tahun berlalu, penantian itu tak kunjung ada. Agung Syumandjaya (Radar Sulteng, Erna Dwi Lidiawati (Kompas.com), Sobirin (Madika.id) dan Wahono (Radar Sulteng) serta Aldrim Thalara dari Kompas TV, merekam dengan apik situasi terakhir kondisi penyintas di bilik-bilik tidak layak dan menyajikannya untuk pembaca sekalian.