Nestapa Penyintas Bencana Palu, Terkatung katung Akibat Dokumen Kepemilikan Lahan

2 min read

PALU – “Alasan mereka kami tidak punya alas Hak, jadi tidak bisa dapat Huntap (Hunian Tetap,red). Kami ingin diberi solusi. Karena sudah lima tahun tidak ada kepastian, kita ini mau ditempatkan kemana.” Sepenggal harapan itu diutarakan Nerlan (32), penyintas asal Kelurahan Mamboro Barat yang masih menempati Hunian Sementara (Huntara) di belakang area terminal Mamboro.

Ibu tiga anak ini, sebelumnya adalah warga yang bermukim di kompleks ebony. Kawasan pemukiman bagi karywan perusahan PT. Sulawesi Ebony Sentra, berlokasi di sekitar area pesisir Kelurahan Mamboro. Hunian yang ditempati selama tahun itu rata dengan tanah, tak ada sedikitpun tersisa ketika bencana alam 28 September melanda.

Kondisi itu memaksa dirinya bersama warga di kompleks tersebut berpindah-pindah untuk bernaung. Mulai dari menempati tenda pengungsian hingga akhirnya menetap selama lima tahun di hunian sementara, yang kini menjadi satu-satunya tempat melepas penat bersama keluarga.

SEMPAT TERDAFTAR SEBAGAI PENERIMA HUNTAP

Di awal proses verifikasi penerima Hunian Tetap Budha Tzu chi, nama Nerlan bersama warga kompleks ebony sempat terdata dan masuk sebagai calon penerima. Seiring berjalannya proses verifikasi, nama Nerla dan beberapa rekannya hilang.

Diakuinya, seluruh dokumen persyaratan mulai dari Kartu Keluarga, KTP hingga surat keterangan dari Perusahaan atas keabsahan dirinya bermukim di lokasi tersebut telah dilengkapi. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) selaku leading sektor pendataan pun, meyakinkan jika seluruh dokumen miliknya sangatlah kuat untuk mendapat hunian tetap.

“Setelah pencabutan blok, akhirnya nama kami hilang. Alasannya surat penyerahan itu tidak memenuhi syarat untuk mendapat Huntap. kami protes, kenapa tidak dari awal disampaikan, kenapa nanti sudah pencabutan blok.” Kenangnya dengan suara lirih. Protes hingga mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Ombudsman Sulteng, pernah ditempuhnya. Namun hal itu seakan sia-sia. Nerlan bersama warga Kompleks ebony tetap tak mendapat kejelasan Huntap.

Rasa tak terima kian mengebu-gebu batinya. Orang yang bukan korban terdampak langsung plus warga di kompleks itu justru mendapatkan Huntap. Padahal diakuinya, mereka yang menerima Huntap menggunakan data yang sama seperti mereka. “Kenapa yang bukan korban bisa dapat Huntap. Mereka bukan tinggal kompleks kami, padahal mereka gunakan data warga disitu. Jelas kami protes, karena kami korban justru tidak dapat,” ungkapnya.

CACAT PERMANEN HINGGA DI PHK PERUSAHAAN

Tak hanya kehilangan hunian. Bencana 28 September juga membuatnya harus mengalami cacat dibagian kaki kananya, akibat terkena material saat tsunami. Tumitnya yang robek, membuat Nerla terpaksa harus berjalan sedikit pincang saat melakukan aktivitas sehari-harinya.

“Waktu itu saya sementara mengandung anak ketiga, kalau tidak salah usai tujuh bulan. Jadi luka di kaki ini baru diobati sekitar dua minggu pasca bencana. Sekitar enam bulan saya tidak bisa jalan. Sekarang pun masih terasa, apalagi kalau dingin, pasti ngilu kaki saya.” Kata Nerlan sembari menunjukan bekas jahitan lukannya.

Kondisi perekonomian Kota Palu yang belum pulih sepenuhnya pasca bencana, menambah rentetan kemalangan keluarganya. Irwan Dawali sang suami yang merupakan warga asli Kelurahan Taipa harus di rumahkan oleh perusahan tempatnya bekerja. Kondisi ini kian mempersulit keluarganya untuk membangun rumah secara pribadi, meski harapan akan hal itu masih terus terbenak.

“Sampai sekarang suami kerjanya serabutan. Ini sementara menganggur, karena belum ada panggilan kerja. Jadi kalau mau bangun rumah sendiri masih agak susah. Untuk memenuhi hidup sehari-hari saja masih susah, cuman tetap disyukuri,” lanjut Nerlan.

SILAKAN KEMBALI NGONTRAK

Masalahan Hunian bagi warga yang tidak memiliki dokumen kepemilikan lahan seakan tak memiliki solusi. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Palu, Persly Tampubolo hanya menyarankan mereka untuk kembali ngotrak. Diakuinya, berdasarkan skema penerima Huntap sudahlah sangat jelas. Tidak ada ruang bagi warga Kota Palu yang tidak memiliki dokumen kepemilikan lahan sebelum bencana untuk mendapatkan Huntap.

“Kalau yang ngontrak yah kembalilah ngontrak. Dalam arti enggak bisa masuk Huntap, karena persyaratannya kan harus kepemilikan rumah, terdampak pemiliknya dan harus direlokasi.” Kata Persly. Opsi mencarikan solusi bagi mereka hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Kepala Daerah. Persly mengaku, Wali Kota Palu Hadinato Rasyid akan berupaya membangunkan hunian bagi para korban melalui pembiayaan non APBD seperti CSR Perusahaan ataupun bantuan NGO.

Rencana itu diakuinya baru sebatas opsi bagi para penyintas yang sebelumnya ngontrak tetapi masih memiliki lahan. Diakuinya, BPBD tidak berani mengambil sebuah kebijakan tanpa dasar yang nantinya akan mempersulit semua pihak.

“Supaya jangan mengalami penyalahgunaan kebijakan dengan menggunakan pembiayaan pemerintah tanpa dasar peraturan yang pas. Nah ini kan agak sulit mencarinya seperti itu itu, maksudnya tadi Tetapi kalau misalnya di luar kebijakan keuangan pemerintah. Nah, misalnya ada bantuan-bantuan NGO atau bantuan dari komunitas-komunitas lainnya. Nah itu yang perlu kita jajaki sebagai sebuah kebijakan,” pungkasnya. (sobirin)


LIMA TAHUN BENCANA SULTENG
Lima jurnalis Palu melalui beasiswa dari AJI Palu, melakukan liputan yang mengungkap kisah para penyintas di pengungsian. Merekam suasana batin pengungsi yang hidup dengan fasilitas seadanya di barak pengungsi. Melaporkan mimpi warga penyintas yang mendambakan hidup tentram di hunian layak yang dijanjikan negara. Lima tahun berlalu, penantian itu tak kunjung ada. Agung Syumandjaya (Radar Sulteng, Erna Dwi Lidiawati (Kompas.com), Sobirin (Madika.id) dan Wahono (Radar Sulteng) serta Aldrim Thalara dari Kompas TV, merekam dengan apik situasi terakhir kondisi penyintas di bilik-bilik tidak layak dan menyajikannya untuk pembaca sekalian.

Proses Oknum TNI Diduga Ancam Jurnalis, Dandim 1306 Kota…

Jurnalis di Kota Palu kembali menjadi korban intimidasi dan pengancaman. Kali ini dialami Halima Charoline atau yang akrab disapa Irma. Jurnalis perempuan yang bekerja...
Aji Palu
3 min read

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *